27 Jaruari, 2012
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami adalah Allah’, kemudian mereka meneguhkan pendiriannya (beristiqamah), maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada pula berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga , mereka kekal di dalamnya sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan”.(QS al-Ahqaaf: 13-14)
Sebagai bentuk penghambaan manusia
pada Rabbnya, ibadah memerlukan istiqamah. Keteguhan hati dalam mengikuti
petunjuk yang dengan jelas telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan al-Hadits,
tanpa menambah atau mengurangi sedikit pun.
Istiqamah sebagai konsep yang syamil
(menyeluruh) dan kamil (sempurna) secara sederhana dapat bermakna
keberlangsungan yang terus menerus dalam kebenaran dan kebaikan, baik sebagai
ucapan, perbuatan, keyakinan, sikap maupun nilai.
Guna menjelaskan hakikat istiqamah,
Ibnu Rajab al-Hambali mengajukan definisi, “Berjalan di atas jalan kebenaran
yang lurus tanpa menyimpang sedikit pun, dan menjalankan syariat Islam sesuai
dengan manhaj Rasulullah saw dalam melakukan perintah dan meninggalkan
larangan-Nya.”
Imam Muslim meriwayatkan sabda
Rasulullah saw, “Amal yang paling disukai Allah Ta’ala adalah amal yang
dikerjakan terus menerus walaupun jumlahnya sedikit,” Karena itu, istiqamah
bukan sekadar kebajikan tambahan atau pelengkap, melainkan sebuah keharusan
dalam kehidupan manusia, sebagai individu maupun masyarakat.
“Istiqamah adalah jalan menuju
keberhasilan di dunia dan keselamatan di akhirat. Seseorang yang memiliki sikap
istiqamah akan selalu merasa dekat dengan kebaikan, rezekinya dilapangkan, dan
akan jauh dari pengaruh buruk hawa nafsu dan syahwat. Dengan hati istiqamah,
malaikat akan turun untuk memberikan keteguhan dan ketenangan dari rasa takut
terhadap azab kubur. Selain itu, hati yang istiqamah akan mempermudah amal
seseorang untuk diterima di sisi Allah selain akan mempermudah untuk dihapus
dosa-dosanya,” papar Imam al-Qurthubi, salah seorang ulama tafsir.
Jelasnya, istiqamah adalah sebuah
keniscayaan bagi seorang Muslim.
sebagaimana dijelaskan sendiri oleh
Rasulullah saw. Ketika seorang sahabatnya, Sufyan bin Abdullah, bertanya:
“Wahai Rasulullah mohon dijelaskan padaku tentang Islam yang sesungguhnya,
sehingga aku tidak bertanya lagi setelah ini kepada seseorang selain kepadamu?”
Beliau menjawab, “Katakanlah, aku beriman kepada Allah kemudian
beristiqamalah!” (HR Muslim).
Singkat dan padat. Demikianlah
kiranya jawaban Rasulullah saw dari pertanyaan sahabatnya tersebut, namun di
balik kesingkatan jawaban tersebut justru kita dapat menangkap suatu isyarat
bahwa untuk menjadi Muslim sejati ‘cukup’ dengan memenuhi dua syarat, yaitu:
beriman kepada Allah dan bersikap istiqamah dalam keimanannya tersebut.
Bersikap istiqamah dalam keimanan
tidaklah sesederhana yang dibayangkan.
Umumnya orang memahami keimanan
kepada Allah cukup dengan mempercayai dan mengakui eksistensi Allah dengan
segenap ke-rububiyahan-Nya. Padahal iman bukan sekadar angan-angan, imajinasi
atau khayalan. Ia adalah keyakinan yang harus tertanam kokoh dalam jiwa dan
diwujudkan dalam perbuatan nyata.
Allah sangat menghargai dan memuji
orang-orang yang mampu mempertahankan sikap istiqamah. Merekalah yang berani
menegakkan kebenaran dan tidak takut dengan konsekuensi keimanan. Bahkan tidak
akan menyesal bila risiko betul-betul menimpa dirinya sebagai kaum Mukminin.
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian
mereka tetap dalam pendiriannya (istiqamah), maka malaikat akan turun kepada
mereka (dengan berkata), ‘janganlah kamu merasa takut dan sedih dan
bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”
(QS Fushshilat :30).
Karena itu, setiap kita harus
berjuang untuk menumbuhkan istiqamah dalam jiwa masing-masing. Ada empat hal
yang harus ditempuh agar dapat menjadi hamba-hamba Allah yang istiqamah.
Pertama, kesadaran dan pemahaman yang benar (Al-Wa’yu wa al-fahmu ash-Shahih).
Untuk mencapai derajat istiqamah yang optimal dan berdaya, pemahaman ajaran
Islam secara sempurna mutlak diperlukan. Muslim yang memahami ajaran agamanya
dengan baik tidak akan bimbang menjalani kehidupan dunia. Ia akan tetap tegar
(istiqamah) menghadapi badai godaan
sedahsyat apa pun.
Kedua, mendekatkan diri kepada Allah
dan merasakan pengawasan-Nya (at-Taqarrub wa al-Muraqabah). Dua hal ini sangat
penting. Ketika seorang Muslim telah merasa dekat dengan Allah, kemana pun ia
pergi, dimana pun ia berada dan bagaimana pun situasi dan kondisinya, dengan
keyakinan penuh ia akan selalu merasa diawasi dan dilihat oleh Allah.
Dengan begitu, ia tidak lagi berani
menyimpang dari jalan-Nya (QS
al-Baqarah: 235).
Ketiga, berteman dengan orang-orang
shalih (mulaazamat ash-shalihin).
Rasulullah saw mengingatkan,
“Seseorang itu mengikuti agama kawannya, karena itu perhatikanlah kepada siapa
orang itu berkawan.” (HR Tirmidzi).
Keempat, intropeksi dan
sungguh-sungguh (al-Muhasabah wa al-Mujahadah).
Setiap pribadi Muslim harus
mengetahui bahwa musuh utama dirinya adalah hawa nafsunya sendiri yang memang
memiliki tabiat selalu condong pada kejahatan dan perbuatan dosa (QS Yusuf:
53).
Sebab itulah, setiap Muslim
seyogianya selalu mengadakan introspeksi diri (muhasabah an-nafs) terhadap
apa-apa yang telah dikerjakan agar ia dapat mengontrol hawa nafsunya setiap
saat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar